Biru. Hari itu, 5 September 2010
Aku tak bisa berucap apa-apa. Begitu
cepat perasaan itu mengalir, sampai membuatku gemetaran, berbagai macam emosi
berkecamuk di hati. Aku pun tak mengerti harus bagaimana bersikap.
Tadi
pagi, sekitar jam 7 temanku, Nurul dan Kuntari, mengirim sebuah pesan singkat
kepadaku (SMS). Aku yang sedang asyik menulis pun langsung membaca pesan itu.
Awalnya aku tak mengerti apa maksud pesannya. Aku pun membalas, minta
penjelasan lebih rinci ke Nurul. Namun Kuntari sudah lebih dulu menjelaskannya
melalu pesan yang entah keberapa kalinya ia kirim kepadaku. Aku pun mengerti. Namun, mendadak tanganku
gemetaran saat memahami kata per kata yang dituliskan oleh Kuntari. Hatiku pun
bergejolak. Rasanya aku tak sanggup lagi berdiri, lututku lemas. Perlahan aku
mulai merasakan panas di sekitar mataku. Aku berusaha menjaga agar
butiran-butiran air itu tak jatuh. Tapi, usahaku gagal. Tangis itu tetap pecah.
Aku tak paham mengapa aku harus menangis. Hal ini adalah bukan urusanku. Tapi,
aku sangat mengerti. Aku tahu rasanya bagaimana ditinggal oleh seseorang yang
sangat disayang.
Kabar
buruk itu membuatku merasakan berbagai emosi. Sedih, kasihan, dan macam rasa
lainnya berkecamuk di hatiku. Belum lagi ditambah sikapku yang gengsian. Itu
yang membuat kau tak tahu harus bagaimana. Ayahnya Faby meninggal. Ya
Allah...secepat itu kah? Memang tak ada satupun yang tahu kapan kita harus
kembali kepada sang ilahi. Semua sudah menjadi rahasia-Nya. Mengetahui kabar
itu, aku sempat bimbang. Apa aku harus datang ke rumahnya, ataukah aku harus
tak peduli. Untuk option yang kedua itu aku benar-benar tak tega melakukannya.
Tega nian bila ku lakukan itu. Tapi di satu sisi, kalau aku harus datang ke
rumah Faby, aku tak punya nyali. Entahlah aku tak tahu. Semenjak kejadian 4
tahun lalu, aku benar-benar putus komunikasi dengannya. Meski pun kami satu
sekolah, kami tak pernah saling sapa. Bahkan tak mau kenal, pura-pura tidak
kenal. Aku malu. Tapi bagaimana pun, Faby adalah kawanku, terlepas dari semua
masalah yang tidak jelas yang sedang kami hadapi. Aku dan Faby kenal sejak
kelas 1 SD. Itu sudah lama sekali. Aku tak boleh egois.
Selama
di kamar, aku sibuk menyusun kata-kata. Mempersiapkan diri untuk berbicara pada
Faby, meski aku tahu ini adalah waktu yang tidak tepat. Sekitar jam 8, Kuntari
menjemputku. Ya, sama denganku, Kuntari pun mengenal Faby sejak SD. Entah apa
yang akan ku lakukan nanti, aku tetap memutuskan untuk mengunjunginya. Aku dan
Kuntari pun melesat dengan motornya. Sepanjang perjalanan aku terdiam, meskipun
aku tahu Kuntari sudah mengoceh berkali-kali. Namun aku tak begitu mendengar
perkataannya. Aku hanya sibuk merasakan gejolak di hatiku dan meratapinya. Ya,
aku memang bukan siapa-siapanya Faby. Tapi apa salah bila aku pun ikut
bersedih? Itu kan wajar toh aku dan dia sudah kenal sejak lama, walau
teman-teman di SMP tak ada yang tahu kecuali teman SD. Hampir mendekati
rumahnya, tak sengaja aku mengucapkan sesuatu. “Ya Allah...gak nyangka ayahnya
Faby bakalan secepat itu ninggalin keluarganya. Krena kecelakaan,miris banget.
Mana lagi puasa, bentar lagi lebaran dan gue yakin mereka sudah bersiap-siap
untuk mudik.” Semua kata-kata itu keluar karena mungkin aku memang sedang
memikirkan Faby dan merasakan betapa sedihnya dia.
Saat
kami kerumahnya, kami disambut oleh para tetangganya. Kami dipersilahkan masuk.
Dengan canggung kami pun langsung menuju kamar Faby. Tepat seperti dugaanku. Di
kamarnya Faby sedang menangis. Tapi aku tak mampu untuk mendekatinya. Aku hanya
berdiri di ujung pintu kamar. Disana sudah teman-teman lain, seperti Nurul, dan
juga Disty tentunya. Aku benar-benar tak tega melihat Faby yang meratapi
ayahnya. Tubuhku semakin gemetar, dan lututku begitu lemas. Aku tak sanggup.
Aku terus memperhatikan Faby, sambil merapal do’a dalam hati. Aku lihat Faby
menangis sampai terus menceritakan tentang ayahnya. “Ayah masih punya janji
yang belum ditepatin. Katanya ayah mau beliin Bi*** gitar, mau ajarin gitar,
Bi*** pingin ketemu band Ungu.” Katanya bertubi-tubi. Aku tak bisa mencerna
semua ucapannya. Rasanya telingaku sedikit tertutup akibat kalutnya hatiku.
Aku
sangat tahu Faby. Dulu saat kami masih akrab, kami sering duduk berdua di
jendela salah satu kelas yang baru setengah jadi (belum dikeramik, belum
dicat), kami menceritakan tentang keluarga kami masing-masing. Aku tahu, dia
sangat bergelora ketika menceritakan tentang ayahnya. Aku masih ingat, Bi. Aku
ingat. Faby sering diajak ayahnya jalan-jalan. Suka ambilin makanan yang
diproduksikan oleh tempat ayahnya bekerja. Jalan-jalan naik motor bersama ayah dan
dua adiknya. Aku tahu, Bi. Kamu dulu pernah melintas di rumahku kan saat
jalan-jalan bersama aya dan adik-adikmu naik motor? Saat aku tak sengaja
melihatmu, aku langsung lari dan menyebut namamu. Apa kamu ingat? Ah, sudahlah.
Itu masa lalu. Dari dulu aku tahu Fabi sangat menyayangi ayahnya dan dekat
sekali dengan ayahnya. Aku paham banget apa yang dirasakan olehnya. Sebenarnya
maksud aku ke rumahnya itu untuk menghibur dia. Tapi aku tahan niatku. Aku
takut kalau tiba-tiba saja dia marah padaku. Bukannya tenang malah semakin
kacau kan?
Jenazah
ayah Faby belum sampai ke rumah, karena saat kecelakaan sempat dibaawa ke rumah
sakit terdekat. Katanya sih akan dimakamkan di Temanggung, tempat
kelahiran almarhum. Sudah hampir
setengah jam mungkin aku di rumahnya. Aku tetap berdiri di ambang pintu,
menatap Faby, masih tidak mengatakan apa-apa. Kadang aku tertunduk menahan
tangis, diam-diam aku seolah berbicara yang di tujukan padanya meski dalam
hati.
“Kemarin
ayah bilang ingin pulang ke kampung halaman. Ayah juga sudah memesan tiket,”
lirih Faby.
“Di
saat seperti ini bukan pandangan penuh simpati atau kasihan yang lu butuhin
dari orang-orang sekitar lu. Lu cuma butuh pengertian. Maka dari itu gue
berusaha ngertiin lu. Gue sendiri pun gak tahu, bagaimana rasanya ditinggalin
ayah. Tapi gue tahu bagaimana rasanya ditinggalin orang yang gue sayang. Belajar,
saat-saat seperti ini lu harus jadi diri sendiri. Lakuin apa yang lu mau,
rasain apa yang lu rasa.” Batinku. Aku tahu. Sekali lagi aku tahu.
Aku
menarik napas, dan menghembuskannya pelan-pelan. Aku pun berjalan keluar
kamarnya, dan tak sengaja melihat adik perempuannya di kamar orangtuanya
mungkin, yang sedang nangis sambil berucap “Ayah mana? Ayah kenapa?”. Dia anak kecil, belum mengerti apa-apa. Tapi
dia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh kakak dan Mama nya. Tanpa sadar, aku
berjongkok dan sejenak memeluki lutut. Hatiku tergerak, aku langsung
mendekatinya dan meng-elus-elus rambutnya. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku
tak bisa berbicara sama anak kecil, karena masih polos, belum mampu mencerna
bahasa orang dewasa. Setelah itu aku serahkan pada ibu-ibu yang sedang
menghiburnya. Aku pun kembali ke kamar Faby, memanggil Kuntari. Kami pun pamit
pada Faby dan Mama nya.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar. Komentar Anda sangat bermanfaat bagi saya. Dimohon untuk memakai bahasa yang sopan, tidak mengandung SARA. Terimakasih ^^