Klise Sang Pemimpi
Aku berlari sekuat tenagaku. Mencoba melompat lebih tinggi tuk menggapai mimpi. Masa depan berada di hadapanku. Namun aku masih belum bisa menentukan akan ku rangkai seperti apa hidup ini. Potongan-potongan mozaik ku coba persatukan. Kadang angin menerpa pohon keyakinanku hingga aku memecahkan kembali potongan mozaik itu.
Aku terlihat letih, enggan berlari.
Aku telah lelah berlari, berjalan panjang menyusuri jalan yang tak selalu mulus dari dataran rendah ke dataran tinggi. Menikmati es krim cokelat pelepas dahaga yang mengingatkan aku bahwa hidup tak selalu indah, ada rasa pahit di balik rasa manis yang meledak ketika aku memakan es krim cokelat. Membuat aku ingin menghentikan waktu sejenak. Mencoba sadar untuk menikmati hidup. Meski orang-orang berkata bahwa tabung pasir waktu bagian atasnya sudah habis.
Aku kembali berlari. Sejauh ini...harusnya aku sudah bisa berdiri lebih tinggi. Ada apa dengan semesta? Di balik langit yang biru, di balik sungai yang mengalir tenang, di balik rumput yang diterpa angin, aku tidak tahu apa hal buruk disana. Aku masih berlari dan terus berlari. Meski ku tak tahu kemana harus ku langkahkan kaki. Teriknya matahari membuatku lengah sehingga bulir-bulir keringat menetes satu demi satu. Kadang awan yang berakan mengubah siang menjadi keindahan yang hidup. Aku tak mampu berlari, kini menyisakan langkahku yang perlahan mulai melemah. Namun bagai sungai yang mendambakan samudra, ku ikuti langkah hatiku karena ia tahu kemana aku akan bermuara. Aku berhenti berlari. Berhenti sejenak di tepi pantai yang membentang laut yang luas. Di hadapanku adalah laut. Aku terdiam dengan lamunan dalam yang bermuara pada kenyataan bahwa perjalananku belum berkhir, masih panjang jalan yang harus ku lalui, ini belum seberapa. Ada makna yang tersirat dalam kenyataan dunia yang tersurat. Senyumku mulai mengembang puas menyaksikan episode demi episode dalam takdir yang memeluk. Hingga aku berpikir tentang cerita dongeng. Sebuah cerita dongeng yang endingnya bisa diatur sesuai kenginan. Kenyataan dunia yang tidak selamanya seperti cerita di negeri dongeng. Aku tersentak melihat langit. Menggapai mimpi itu seperti memeluk langit. Jauh. Aku menatap sebuah awan yang diam namun ia selalu bergerak. Aku ingin seperti awan. Meskipun ia diam, ia selalu bergerak statis. Dan awan adalah titik terdekat dari bumi untuk menjamah langit.
Kini aku harus siap menghadapi kenyataan. Entah kemana dunia akan membawaku. Yang jelas aku harus menjadi navigator untuk dunia yang akan membawaku. Hidup ini bagaikan klise. Buram, tidak jelas. Namun untuk menikmati keindahan hidup ini, butuh perjuangan dengan proses-proses yang menyita waktu. Waktu sangat berharga. Untuk menikmati kebahagiaan, harus rela susah, rela tersiksa dari sekarang untuk masa depan yang cerah. Daripada bahagia sekarang, masa depan suram.
"Klise tentang sang pemimpi. Potret kabur untuk masa depan yang belum jelas keindahannya. Butuh proses untuk melihat keindahan itu. Layaknya klise foto yang harus dicetak dengan melakukan proses-proses dengan zat-zat kimia untuk melihat hasilnya yang bagus."
Aku terlihat letih, enggan berlari.
Aku telah lelah berlari, berjalan panjang menyusuri jalan yang tak selalu mulus dari dataran rendah ke dataran tinggi. Menikmati es krim cokelat pelepas dahaga yang mengingatkan aku bahwa hidup tak selalu indah, ada rasa pahit di balik rasa manis yang meledak ketika aku memakan es krim cokelat. Membuat aku ingin menghentikan waktu sejenak. Mencoba sadar untuk menikmati hidup. Meski orang-orang berkata bahwa tabung pasir waktu bagian atasnya sudah habis.
Aku kembali berlari. Sejauh ini...harusnya aku sudah bisa berdiri lebih tinggi. Ada apa dengan semesta? Di balik langit yang biru, di balik sungai yang mengalir tenang, di balik rumput yang diterpa angin, aku tidak tahu apa hal buruk disana. Aku masih berlari dan terus berlari. Meski ku tak tahu kemana harus ku langkahkan kaki. Teriknya matahari membuatku lengah sehingga bulir-bulir keringat menetes satu demi satu. Kadang awan yang berakan mengubah siang menjadi keindahan yang hidup. Aku tak mampu berlari, kini menyisakan langkahku yang perlahan mulai melemah. Namun bagai sungai yang mendambakan samudra, ku ikuti langkah hatiku karena ia tahu kemana aku akan bermuara. Aku berhenti berlari. Berhenti sejenak di tepi pantai yang membentang laut yang luas. Di hadapanku adalah laut. Aku terdiam dengan lamunan dalam yang bermuara pada kenyataan bahwa perjalananku belum berkhir, masih panjang jalan yang harus ku lalui, ini belum seberapa. Ada makna yang tersirat dalam kenyataan dunia yang tersurat. Senyumku mulai mengembang puas menyaksikan episode demi episode dalam takdir yang memeluk. Hingga aku berpikir tentang cerita dongeng. Sebuah cerita dongeng yang endingnya bisa diatur sesuai kenginan. Kenyataan dunia yang tidak selamanya seperti cerita di negeri dongeng. Aku tersentak melihat langit. Menggapai mimpi itu seperti memeluk langit. Jauh. Aku menatap sebuah awan yang diam namun ia selalu bergerak. Aku ingin seperti awan. Meskipun ia diam, ia selalu bergerak statis. Dan awan adalah titik terdekat dari bumi untuk menjamah langit.
Sejenak aku berpikir tentang mimpi, masa depan. Hari-hari yang ku lalui tak mungkin untuk di sesali. Cobalah bertahan mewujudkan mimpi demi satu cinta, satu harapan, kebahagiaan hati. Kebahagiaan hati, sebuah tembang lagu dari seorang penyanyi cantik mengudara di telingaku. Sebuah cerita tentang sang pemimpi yang berusaha menorehkan fantasi nya dalam dunia musik. Lagu itu cukup menjadi penyemangatku. Sang pemimpi, teruslah berlari!
Kini aku harus siap menghadapi kenyataan. Entah kemana dunia akan membawaku. Yang jelas aku harus menjadi navigator untuk dunia yang akan membawaku. Hidup ini bagaikan klise. Buram, tidak jelas. Namun untuk menikmati keindahan hidup ini, butuh perjuangan dengan proses-proses yang menyita waktu. Waktu sangat berharga. Untuk menikmati kebahagiaan, harus rela susah, rela tersiksa dari sekarang untuk masa depan yang cerah. Daripada bahagia sekarang, masa depan suram.
"Klise tentang sang pemimpi. Potret kabur untuk masa depan yang belum jelas keindahannya. Butuh proses untuk melihat keindahan itu. Layaknya klise foto yang harus dicetak dengan melakukan proses-proses dengan zat-zat kimia untuk melihat hasilnya yang bagus."
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar. Komentar Anda sangat bermanfaat bagi saya. Dimohon untuk memakai bahasa yang sopan, tidak mengandung SARA. Terimakasih ^^