Harapan dan Sandaran

Pernahkah kamu merasa kehilangan dirimu sendiri? Tidak hilang secara fisik, tetapi rasanya kamu seperti sedang berhadapan dengan orang yang sama sekali asing, tidak seperti dirimu yang kamu kenal selama ini. Kalau pernah, bagaimana perasaanmu saat itu? Apa yang membuatnya bisa terjadi?

Ah, tidak usah naif, hal ini biasa terjadi padaku saat sedang berada di titik paling rendah dalam hidup sehingga emosi jadi sulit terkendali.

Kemarin malam, air mataku tumpah ruah kembali. Sudah aku katakan berkali-kali, “hatiku tanggung jawabku, kebahagianku itu pilihanku. Hati dan bahagiamu pula, milikmu. Jadi jangan pikirkan hal yang membuat hari menjadi pengap dan hati menjadi sesak.”

Serasa berada di titik rendah itu lagi, memang akhir-akhir ini aku tidak bisa mengendalikan emosi dengan baik. Padahal aku cukup kompeten dalam menghadapi emosi yang kadang naik turun sampai amburadul. Mungkin juga faktor yang seharusnya sudah jadwalnya tetapi sampai saat ini belum dapat juga, menambah beban pikiran saja kalau mundur begini.

Tidak bisa dipungkiri, setelah pandemi tak hanya berjuang masalah kesehatan, sosial, dan ekonomi. Aku telah lebih bersusah payah menuntaskan masa lalu agar ikhlas dan siap dengan hati yang baru agar tak akan ada cela dan celah saat aku bersedia berdampingan dengan harap di masa depan.

Bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat menggantungkan diri pada sesuatu.

Sebagai manusia biasa yang rentan dan rapuh tentu saja jadi kecewa dibuatnya, padahal semua adalah akibat kesalahan yang dibuat sendiri pada awalnya.

Kesadaran akan hakikat yang pada akhirnya membuatku sedikit demi sedikit berlepas dari bersandar pada diri. Karena setelah dipikir-pikir secerdas apapun seseorang, suatu saat nanti tidak bisa lagi diandalkan. Terus mau bersandar pada apa? Pada diri? Sudah jelas rapuh kok dijadikan sandaran?

Jangan bersandar pada dahan yang jatuh, atau kita akan terjatuh.

Tanpa ada harapan, mungkin hidup sudah tak ada artinya lagi. Barangkali satu-satunya hal yang dapat membunuh kita secara perlahan adalah harapan yang terlalu tinggi yang tanpa sadar kita sematkan kepada diri kita sendiri.

Maka, gantungkan harapan itu ke Pengabul Harapan. Hanya saja kita perlu menjadikannya serupa cermin yang menyemangati, bukan untuk menjadi landasan untuk melakukan penghakiman terhadap diri.

Comments

Popular posts from this blog

Saras 008 Pembela Kebajikan

Kontes Blog #PESAWATKERTASTERAKHIR : Teruntuk Kita yang Pernah Sedekat Nadi Sebelum Sejauh Matahari

RUGRATS : a 90's Cartoon