I Hate This Day ! Terlambat, lalu dipulangkan



Aku berjalan limbung melewati barisan-barisan ruangan bermaterial permanen dari sebuah bangunan yang ku sebut gedung penjara, karena memang seperti penjara. Bukan karena bentuknya yang seperti penjara, tapi karena sistem yang berlaku dalam gedung tersebut. Tapi dilihat-lihat gedung itu memang seperti penjara. Di gerbang utama, memiliki pagar besi tinggi. Dan ketika mulai memasuki area gedung itu melalui gerbang utama, kamu akan melihat lapangan basket dan kemudian sekitar jarak 50 meter dari gerbang utama kamu akan menemui pagar besi tinggi lagi. Di pintu atau gerbang sebelah Barat yang di belakang, sudah ditutup oleh seng-seng karat, dan dililiti kawat yang sewaktu-waktu bisa membuat tubuhmu terluka ketika memaksa untuk masuk dengan memanjatinya, bahkan mungkin tidak bisa kamu panjat karena tinggi pagar itu melebihi tinggi badanmu. Menurut berita yang aku dapatkan, pintu itu ditutup dengan seng dan dililit kawat karena agar tidak ada yang memaksa untuk masuk dengan memanjatnya. Di gerbang Timur pun seperti itu, berpagar besi namun tidak begitu tinggi. Di sekeliling gedung itu diitari oleh pagar yang tidak terlalu tinggi namun berkawat tajam. Dan untuk kami, orang-orang yang menghabiskan separuh hari kami setiap waktunya di dalam gedung itu hanya bisa melewati gerbang utama, gerbang depan, pintu samping Barat depan, dan jarang sekali melewati gerbang gerbang samping Timur serta pintu belakang. Bila di dalam gedung yang seperti di penjara bukan? Tapi, sungguh itu bukan penjara.

Tadi pagi, seperti biasa aku bangun dari tidurku jam 04.30 merapikan tempat tidurku, sejenak untuk melihat isi tas sekolah. Yap. Ternyata sudah rapi semua, peralatan sekolahku: buku tulis dan buku paket untuk hari ini sudah ada, alat tulis lengkap, baju olahraga pun sudah siap. Setelah itu aku baru keluar kamar untuk meneguk segelas air putih hangat, kebiasaanku setiap bangun tidur. Kemudian baru mencari handuk lalu mandi. Hanya butuh waktu 20 menit aku untuk melakukan itu. Ditambah lagi waktu untuk 5 menit memakai seragam dan 5 menit untuk mendirikan kewajibanku sebagai seorang muslim : sholat subuh. Pukul 05.20 aku kembali keluar kamar untuk sarapan, setelah itu memakai kerudung (di sekolahku diwajibkan untuk memakai kerudung bagi yang muslimah) kedua kegiatan itu memakan waktu 25 menit belum lagi kalau aku bolak-balik minum air putih dan ke kamar mandi. aku memakai sepatu jam 05.45 lalu berpamitan dan berangkat dengan jalan kaki untuk mencapai depan kompleks tempat dimana para supir angkot nge-tem, kira-kira memakan waktu 10-15 menit.

Mobil angkot yang kutaiki pun melesat. Jarum di jam tanganku menunjukkan pukul 06.10, aku tahu itu jam 6. Karena sengaja aku cepatkan 10 menit dari jam yang biasa aku lihat di televisi. Aku yakin aku tidak salah, karena jam penumpang lain yang kulirik menunjukkan pukul 6. Yap, sama. Aku tidak akan khawatir akan telat, karena aku berangkat lebih pagi dari hari kemarin yang ternyata sampai sekolah jam 7 padahal berngkat jam 06.15 aku pikir akan telat, ternyata pas.

Jarak dari rumahku ke sekolah sekitar 10 km. Oh iya, saat ini aku duduk kelas 2 SMA di salah satu SMA negeri favorit di daerahku. (just info di kabupaten Tangerang). Dengan jarak rumahku yang jauh itu, aku dituntut harus bangun lebih awal daripada teman-temanku yang lainnya, harus berangkat lebih pagi juga tentunya. Anyway, aku menikmati tuntutan itu, aku suka pagi, aku suka saat-saat sang fajar baru bangun dari peraduannya dan mulai memancarkan cahaya keemasannya dengan guratan-guratan awan kapas berwarna oranye kemerahan bahkan kadang ada sedikit polesan ungu. Sangat indah bukan? Aku suka memandanginya sepanjang jalan. Dan, satu lagi aku suka menatap barisan-barisan bukit dan gunung menjulang menjadi tiang langit yang mengitari daerahku. Terutama pemandangan gunung Karang, yang memang paling jelas terlihat yang berdiri absolut di sebelah barat dari daerahku, aku suka saat gumpalan-gumpalan awan kapas berwarna putih mengelilinya bagaikan salju yang tumpah di puncaknya. Ah, indahnya. Dan waktu yang paling tepat menatap puncak gunung itu adalah saat senja menuju akhir. Maksudnya di saat senja sudah ingin tutup usia, menjelang maghrib sekitar pukul 17.30-18.00 paling tidak jam 5 sore. Kau tau kenapa? Karena ia terlihat sangat memesona kala senja. Gunung yang terlihat biru berdiri absolut dengan pancaran cahaya remang dari matahari senja, langit penuh dengan gumpalan awan kapas bewarna merah jambu keunguan dan didominasi oleh gumpalan awan kapas jingga kemerahan. Sempurna. Ah, jadi ngalor-ngidul deh.

Kebiasaanku : memandangi matahari pagi dan langit! Aku sampai lupa kalau ternyata sinar matahari sudah semakin terik dan aku mulai merasakan panas di tubuhku dengan keringatku yang semakin bercucuran. “Astaghfirullah!” batinku, nafasku tercekat ketika melihat di jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07.00, dalam jam yang sebenarnya berarti sudah jam 7 kurang 10 menit. Aku bingung, harusnya aku sudah sampai di sekolah 10 atau 5 menit yang lalu. “Angkot ini memang sangat lambat jalannya!” makiku. Entahlah, angkot yang aku tumpangi memang jalannya lambat belum lagi tadi sempat macet di dua titik. Dan kini, aku terjebak macet di saat aku benar-benar terburu-buru. “jalan atau stay, jalan atau stay,” batinku gusar. Aku bingung. Resah. Bila aku jalan aku paling tak tahan sengatan matahari yang membuat keringatku bercucuran lebih banyak lagi. “Ah, masih 10 menit lagi,” pikirku. Dan keyakinan itu muncul ketika aku melihat salah satu murid yang sekolah sama denganku, dan murid sekolah tetangga juga.


Aku sudah bisa melihat gerbang sekolahku yang tinggi itu. Pintu gerbang sudah ditutup. Aku semakin was was. “Mau diizinin atau enggak, coba dateng aja deh. Kali aja diizinin masuk,” pikirku. Sekolahku menerapkan sistem bila datang ke sekolah terlambat maka murid akan dipulangkan. Huh, tata tertib yang tidak efektif menurutku. Tiba di depan sekolah aku segera menyetop supir, “Kiri,” ucapku. Namun supir angkotnya tidak mendengar. Aku lupa, beliau sudah renta ternyata. “Kiri!” ucapku setengah berteriak. Akhirnya beliau mendengar, namun karena banyak kendaraan umum yang terparkir beliau mencari tempat yang luas. Aku bergegas turun dan membayar ongkos kemudian lari secepat yang ku bisa. “Rok ini menghambat lari...” omelku dalam hati. Aku sempat melirik jam tangan, sudah jam 7 tepat ternyata. Begitu sampai di gerbang utama, aku disuruh satpam lewat gerbang samping Timur. Jelas aku mendecak kesal. Jarak gerbang itu dari gerbang utama kan sepanjang lapangan bola sekitar 100 meter. (kebetulan memang di samping sekolahku itu ada lapangan bola yang besar). Ada 5 murid lain yang terlambat ternyata. Kami disuruh ke gerbang samping Timur, tapi gerbang tidak dibukakan. “Apa-apaan ini?!” makiku kesal. Yang ada malah kami dimaki. “Jam berapa ini? Sudah pulang aja, tidurkan lebih enak,” ucap salah seorang guru laki-laki. “Apa? Capek-capek lari kesini malah diginiin” aku mendengus kesal. Yang lain memohon dibukakan pintu, tapi guru-guru malah berkacak pingging. Aku hanya diam karena percuma yang ada malah sakit hati kalau memasang wajah melas dan memohon-mohon, yang ada dimarahi.
Saat kelas 10 aku pernah terlambat 2 kali, 1 kali di semester 1 dan 1 kali di semester 2. Aku ingat, saat itu hari Senin dan Selasa. Karena saking dongkolnya, aku sampai berpikiran atau membuat prediksi (ramalan), “selama 3 tahun di sekolah ini nanti kayaknya aku bakal telat 6 kali. Setiap tahunnya 2. Maksudnya, semester 1 sekali dan semester 2 sekali begitupun seterusnya ketika aku naik kelas. Harinya berurutan, Senin-Selasa kelas 10 berarti Rabu-Kamis kelas 11 dan Jum’at-Sabtu kelas 12.” Sejauh ini selama 2 tahun sudah terbukti. Mungkinkah di kelas 12, ramalan itu akan terjadi? Entahlah. Kami dibiarkan begitu saja di luar sekolah, kami memutuskan untuk menunggu. Ya jelaslah, kami tidak tahu harus berbuat apa. Nelpon orangtua? Alasannya gak bisa. Karena kami tidak bawa hp atau orangtua kami tidak ada di rumah. Pasrah. Tak lama kemudian, suara dari rantai yang digunakan untuk menggembok gerbang berbunyi. Ternyata ada pramubakti (pesuruh) sekolah kami yang membukakan. “Masuk, ke piket dulu,” ucapnya sambil memegang sapu. Dengan ragu kami melangkahkan kaki. Sampai di meja piket, apa yang kami dapat? Cacian, omelan dan ejekan. Tidak ada yang lain kah? “Siapa yang suruh masuk?” tanya seorang guru wanita dengan nada tegas setengah marah. “Mang Ade,” jawab kami jujur. “Bukan guru piket kok yang nyuruh. Siapa dia orang Cuma pesuruh? Mang Ade salah paham. Cuma piket yang boleh ngizinin kalian masuk.” Ucapnya lagi. “Lantas untuk apa Mang Ade ngebukain pintu? Logikanya seorang pesuruh bila melakukan sesuatu yang bukan haknya, pasti karena ada yang menyuruhnya kan? Tapi, kenapa begini ceritanya? Gak mungkinkan man ade berani bukain pintu kalau gak disuruh? Salah paham? Bulshit kah itu?” aku menggerutu dalam hati, bertubi-tubi ribuan pertanyaan menghujani pikiranku. “Yakin, Cuma salah paham? Bukan karena anda yang menyuruh?” aku berusaha tenang, memasang wajah datar. Sejenak aku melirik ke arah gerbang samping. Ternyata sudah ditutup kembali. “Permainan apa lagi yang akan dibuat? Kalau Cuma salah paham, kok pintu ditutup lagi? Salah paham apanya? Kalau memang kalian menyuruh pesuruh untuk membuka pintu dengan maksud agar udara segar memasuki rongga-rongga gedung penjara ini, kenapa ditutup kembali? Apa maksudnya? Kalian mencoba mempermalukan kami di depan siswa lain yang sedang jam olahraga? Ah, aku tidak tahu!” batinku. “Sudah pulang saja,” ucap seorang guru wanita lainnya. “Kalau yang ada orangtuanya di rumah, telpon. Kalau gak silahkan pulang.” Lanjutnya. “Bawa hp gak? Kalau gak bawa silahkan pulang.” Tambahnya lagi. “Entahlah, aku merasa kami dipermainkan dengan membuat kaimi terpojok dan mempermalukan kami di depan semuanya. Acting kalian sangat bagus. Kenapa gak sekalian main film atau sinetron aja? Aku tau guru yang aku hadapi ini adalah tipikal guru yang lembut sangat jarang marah, tapi kini beliau mengeluarkan kata-kata pedas.” Batinku. Tiba-tiba guru laki-laki yang tadi memaki kami datang. “Bukannya pulang. Lebih enak tidur.” Ucapnya. “Tau, ini kan lagi gak hujan gak mungkin macet.” Ucap seorang guru diantara 3 guru itu. “Gak bakal macet mbah mu? Kalau ngomong seenak jidad. Kalau anda rumahnya di daerah saya juga bakal mengalami hal yang sama dengan saya. Menghadapi macet di 4 titik. Paling sedikit 2 titik. Anda enak, karena bisa naik kendaraan pribadi, paling tidak sudah punya SIM dan bisa mengendarai motor. Bisa kebut-kebutan kalau kepepet. Kalau saya? Saya naik angkot butuh waktu paling cepat 40 menit untuk sampai ke sekolah.” Gerutuku dalam hati. “Dasar, suami sama istri sama aja. Kalau ada yang telat pasti dibilangnya, gak ada alasan untuk telat karena sekarang lagi tidak musim hujan, hueekk!” aku muak dengan semua acting ini. Sebenarnya aku tidak menyalahkan jarak rumah ke sekolah sih, tidak pernah dan tidak akan mau. Aku masuk ke sekolah itu karena keinginan diri sendiri, soal jarak sudah menjadi konsekuensinya. Bagi kami, orang-orang yang rumahnya jauh tidak mau mengungkit-ungkit soal jarak rumah yang jauh di depan teman-teman. Karena kami sudah pengalaman, mengomong seperti itu sama saja seperti mengeluh, yang ada kami malah dihujat habis-habisan. Ada yang bilang, udah tau rumah jauh sekolah disini. Makanya pilih sekolah yang dekat dari rumah. Gak usah sok sok an deh sekolah jauh-jauh. Kami sudah kebal dengan semua itu. Lagian apa salahnya?


Balik lagi ke cerita.

“Anggap aja ini pelajaran buat kalian. Toh alfa sekali ini. Jangan kebanyakan tidur dan malas-malasan. Kami tidak menerima alasan apapun. Ini salah kalian sendiri. Jangan banyak alasan, banyak yang selalu membuat alasan seperti itu.” Seorang guru mulai menasehati, namun yang terdengar bagiku hanyalah sebuah ejekan dan ketidakperdulian. Aku benci tatapan itu. Bagaikan seringai yang menelisik ke arah mataku dan menusuk hatiku berkali-kali. Oke fix, saat itu aku sakit hati. Aku sudah sangat marah. Aku merasakan panas di sekitar mataku. Rasanya mata ini mulai berkaca-kaca. Kalau aku tidak punya sopan santun, aku mungkin sudah membanting meja yang ada dihadapku. Ya, aku seperti itu kalau aku tidak punya kontrol.“Ya sudah, sekarang kalian pulang. Lewat gerbang depan aja,” perintah mereka. Kami masih tertunduk diam. “Sudah, pulang.” Untuk kesekian kalinya mereka mengusir kami, dan kami pun menurut saja. Aku muak.

Langkahku lunglai, aku merasakan tubuhku limbung. Namun aku tetap melangkah dan menuruni anak tangga yang tak banyak jumlahnya. Ini kali pertama aku diperlakukan seperti ini. Mereka tidak percaya padaku. Ini fitnah. Mereka memfitnahku. Aku benci fitnah. Kami sekelompok siswa yang telat melewati barisan-barisan murid yang sedang berolahraga, menyisir kerumunan mereka dari rasa penasaran sekaligus cibiran. Aku tahu, ini adalah siasat guru agar muridnya tidak sering terlambat. Membuat siapa yang telat malu di depan banyak orang. Tapi sungguh cara itu tidak efektif. Aku pernah menulis makalah bertema TATA TERTIB yang isinya mengkritik peraturan yang ada di sekolahku yang memang tidak efektif, saat kelas 10. Guru Sosiologiku pun setuju dengan pendapatku. Katanya, beliau akan memberikan makalah itu kepada kepala sekolah. Entah sudah atau belum. Aku suka dengan cara berpikirnya. Jujur aku ingin marah diperlakukan seperti ini. Aku ingin meninju semua yang ada di sekitarku, ingin nangis tentunya. Aku berjalan mencoba tetap stay cool, mendendangkan sebuah lagu dalam hati agar air mataku tidak jatuh. Gagal. Aku tahu gejolak bercampuran di hati ini harus dilampiaskan. Tapi ini bukan tempatnya, ini sekolah. Mungkin aku terlihat tegar, dan tidak pernah menangis. Bohong. Itu bohong. Aku orangnya sensitif, sebab itu jarang sekali melankolis karena aku malu bila terlihat cengeng di depan teman-temanku. Tapi aku memang lemah. Makanya setiap aku marah, saat di rumah aku hanya bisa menangis, kalau di luar rumah ya paling menanahan tangis itu sambil meremas-remas sesuatu entan mematahkan pensil atau pulpen. Kadang aku meninju benda di sekelilingku, pernah aku meninju dinding sampai tanganku berdarah, pernah juga aku meninju jendela kamarku yang membuat tanganku terluka parah. Temna-temanku tidak tahu itu, karena aku menutupinya. Hal kecil yang aku lakukan saat marah, adalah memutar lagu dan bernyanyi. Aku tak ingin terlihat lemah dengan hal-hal bodoh yang suatu saat aku lakukan. Aku baru pertama cerita soal ini.

Saat tiba di lapangan basket, aku harus menghadapi kerumunan anak kelas sebelah yang sedang berolahraga. Kebanyakan dari mereka mengenal aku. Beberapa dari mereka pun memanggil namaku. Untuk menanyakan apa yang sedang terjadi.
“Wah...si Alfi mah udahlah digelandangin aja,” ucap Vilda sambil cekikan dengan suaranya yang cempreng kayak kaleng rombeng.
“Alfii..” sapa Teresha. “kenapa?”
“gue telat dan disuruh pulang,” jawabku pelan, entah kenapa aku tak mampu mengucapkan itu. Mataku sudah berkaca-kaca ku yakin Teresha tahu kalau aku ingin nangis.
“Alfi,” panggil Desniary yang menghampiriku. Aku segera memalingkan wajahku. “Jangan nagis dong,”
Eh, kenapa dia tau sih kalau gue mau nangis
                Dia menepuk bahuku, “Gue bagi kertas dong,”
                Aku pun langsung membuka tas mencari buku kosong. Tanpa sadar air mataku benar-benar jatuh kali ini. “nih!”
                “Malah nangis beneran. Sudah, jangan nangis. Malu tauk diliatin orang-orang!” ucapnya sedikit bercanda kemudian ia menarik jilbabku dan mengelap air mataku yang satu per satu jatuh. “Hm,pinjam pulpennya. Memangnnya tadi dimarahin?”
                Aku menarik sudut-sudut bibirku, “enggak kok.” Tidak dimarahi Cuma dinasihati, Cuma aku gak suka difitnah kayak gitu.
                Desniary mengambil pulpen dari tanganku, “ya udah kalau mau pulang, pulang aja. Nanti gue balikin pupennya ke kelas.”
                Sempat diam sejenak namun aku pun beranjak pulang. Untuk apa aku berada di penjara itu, lebih baik pulang baca buku pelajaran tanpa ada yang ganggu dan berisik, menulis, dan tidur siang. Malu juga sih sebagai seorang Alfi yang tidak pernah menangis, tiba-tiba menangis di dekat kerumunan orang. Desni! Ngapain juga pake bilang gitu. Huh! Ohiya, sebenarnya aku nangis bukan karena telat dan disuruh pulangnya. Tapi karena, seakan-akan aku tidak dipercayai oleh guru-guru itu yang sudah memarah-marahi kami. Mereka tidak percaya, berarti mereka menuduhku bohong, dan itu artinya fitnah. Aku benci fitnah!



Bad Thursday!

Comments

Popular posts from this blog

Saras 008 Pembela Kebajikan

Kontes Blog #PESAWATKERTASTERAKHIR : Teruntuk Kita yang Pernah Sedekat Nadi Sebelum Sejauh Matahari

RUGRATS : a 90's Cartoon