Nafas Sugestional Hujan

Hujan adalah peneduh, momen paling nyaman yang alam berikan. Namun banyak jiwa-jiwa yang tak ingin tersentuh olehnya. Mungkin karena takut membuat tubuh kuyup dan menggigil.

Pagi hari ini bubuk hujan terjun bebas dengan lembut. Membawa hawa sejuk yang tidak terlalu dingin, tapi cukup menggoda hasrat ingin tubuh dicumbu selimut. Suara ketukannya yang menyentuh atap dan kaca jendela membentuk melodi yang mampu membawa diri sampai ke gerbang khayal. Suara ketukan itu membuat perhatian seseorang teralihkan, lalu melamunkan daur waktu yang sudah terpijaki. Ruang-ruang puisi terbuka lebar, koridor-koridor prosa tampak lapang. Kehadirannya menggelitik jiwa sastra seseorang yang bahkan tak mahir berdiksi untuk menuliskan bait-bait dari kata yang membentuk kalimat tentang perasaannya. Atau membangkitkan jiwa untuk sekedar menikmatinya dengan ditemani secangkir kopi.

Hujan mampu meresonansikan ingatan dan memberi keleluasaan bagi jiwa-jiwa yang tertatih di hantam rindu atau terbuang akibat mempertahankan cinta bisu.  Banyak hati
terperangkap di masa lampau hanya dengan berdiri di bawahnya. Memori-memori yang sakit, wajah yang meninggalkan bayangan, senyum pudar dan luka memerih. Entah mengapa rasa cinta dan luka selalu hadir di kala rintik tergelincir dari atap rumah. Mengapa salah satu dari keduanya tak muncul pada periode lain saja? Misalnya pada mentari yang berpapasan dengan embun atau senja yang dibias debur ombak. Terdengar lebih saga, namun manusia mencari yang lebih sederhana. Mungkin karena hujan bisa hadir kapan saja dan dimana saja. Tidak perlu harus keluar rumah atau pergi jauh untuk mencarinya. Cukup duduk di beranda rumah atau berdiri di samping jendela kamar, nafas sugestional hujan bisa dinikmati. Tidak perlu harus menunggu pagi, siang ataupun malam. Hadirnya tidak terduga, hanya bisa diprediksi dengan segala ciri-cirinya. Itu yang membuat hujan terasa istimewa. Berbagai rasa mampu dihadirkannya memenuhi hati jiwa-jiwa perasa.

Kini aku terperangkap nafas sugestional hujan yang menyesakkan dada. Tentang jarak dan waktu yang memisahkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Biasa dirasakan oleh dua sejoli yang mencinta. Mencoba menyatukan pikiran dan rasa, walau dari tempat yang berbeda. Waktu. Ia memberikan ruang untuk kita bisa nikmati kenangan tak terduga dengan cara sederhana dengan hitungan tiga hari : kemarin, hari ini dan esok. Rindu. Rasa itu seakan menjelma. Mengerogoti pikiranku, tentang waktu kala berasama. Kamu. Waktu dan kamu, dua unsur yang menyatu ditambah hujan membentuk senyawa yang bernama rindu. Rasa yang selalu kuharapkan kehadirannya untuk menciptakan kamu dalam mimpiku. Rindu merupakan semacam senyawa elektrolit yang selalu aku perlukan untuk meningkatkan kadar cinta. Agar rasa cinta dihatiku tak pernah padam untukmu. Aku bersyukur Tuhan melempariku dengan setumpuk rasa rindu ini. Meski sedikit menyesakkan dada, namun bila obatnya hanya bertemu denganmu itu bisa mengasyikan. Aku tak pernah bosan padamu, itu caraku agar tak hilang perasaan untukmu. Rindu dan nafas sugestional hujan ini menyelamatkan aku dari jebakan lembah permainan rasa lelah ingin menyerah.

Tersimpan dalam draft, dan baru sempat dipost.
Tangerang,09012015. 07.30. Insp. Agiasaziya

Comments

Popular posts from this blog

Saras 008 Pembela Kebajikan

Kontes Blog #PESAWATKERTASTERAKHIR : Teruntuk Kita yang Pernah Sedekat Nadi Sebelum Sejauh Matahari

RUGRATS : a 90's Cartoon