Sekolah Perfilman?

Disaat kelas 12 SMA ini saya sedang sibuk-sibuknya berselancar di internet, mengingat saya berencana melanjutkan studi jenjang perkuliahan selepas lulus nanti. Inginnya saya melanjutkan studi di program yang memang pashion atau kesukaan saya. Maka dari itu saya sibuk browsing di internet . Saya berminat di arsitektur atau yang menyangkut pertanian atau 3D animasi dan tentunya....perfilman. Dari 4 option, saya mengeliminasi 2 program memilih 2 program. Program yang saya pilih itu arsitektur dan yang menyangkut pertanian. Untuk 3D animasi yang juga masih berkaitan dengan perfilm saya eliminasi. Meskipun banyak teman saya yang mengetahui pashion saya ini mendukung saya untuk sekolah perfilman, tapi saya justru minta maaf ke mereka. Mengapa? Berhubung saya orangnya pemikir dan penimbang, jadi saya teliti di berbagai sisi. Alasan paling klise adalah karena orangtua. Jadi ceritanya, saya ingin berbakti pada orangtua. Hehe. Alasan selanjutnya, saya pikir menjadi seorang sineas, sinematografi, sutradara atau penulis naskah bisa saya pelajari secara autodidak asal saya rutin belajar dan berlatih membuat berbagai film. Karena menurut saya semua orang bisa jadi film maker, pikir saya rugi bila uang orangtua saya, saya hamburkan demi film. Toh saya bisa belajar autodidak. Yang ada dalam pikiran saya, mengapa saya tidak belajar hal lain saja yang memang butuh sekolah? Dengan begitu saya bisa menambah pengetahuan dan kemampuan saya.

Masalah yang saya hadapi kini adalah, kok artikel yang membahas perfilman sangat jarang di internet? Dari hasil searchin saya, saya menemukan sebuah artikel yang sangat bagus.

Mengapa lembaga pendidikan membuka program studi film?

Bukan rahasia bahwa program-program sosial atau seni bukan dianggap kebutuhan manusia yang paling mendasar. Karenanya, pada saat lembaga-lembaga pendidikan tinggi
membuka program ilmu-ilmu sosial, kebudayaan dan seni, kita bisa menganggap bahwa sekolah itu percaya bidang-bidang yang memasok kebutuhan dasar masyarakat itu sudah terpenuhi, dan kini giliran menyiapkan program yang akan membantu masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Singkatnya, mereka percaya masyarakat sudah
membutuhkan program ini, dan peminat akan datang mendaftar.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mengatur proses perijinan pembukaan program studi pun
memberlakukan mekanisme yang ketat untuk mendirikan sebuah program studi baru. Salah satu prinsip penting pembukaan sebuah program studi baru adalah keberlanjutan hidupnya: bagaimana program ini bisa bertahan setelah berjalan. Ketika pihak sekolah sudah memiliki argumen kuat bahwa orang tua
murid akan mendukung dan nantinya membiayai anak mereka berkuliah, berarti masyarakat memang sudah membutuhkan
bidang ini.

Benarkah peminat bidang film cukup besar? Pengalaman memertemukan saya kepada lebih banyak orang tua di Indonesia yang belum rela anak mereka masuk sekolah seni, apalagi sekolah film. Memang banyak dari orang tua ini berubah menjadi sangat bangga pada saat akhirnya menonton karya anak-anak mereka, namun di Jakarta, sebelum programnya dimulai, saya lebih sering bertemu orang tua yang sangsi daripada yang suportif. Pertanyaan orang tua calon mahasiswa, “Jika dia ambil program film, lalu siapa nanti yang meneruskan usaha saya?” selalu terdengar satir, menunjukkan bahwa bidang seni masih menjadi kebutuhan yang
amat-sangat mewah, bahkan bagi masyarakat kelas menengah ke atas di Indonesia.

Lagi-lagi saya sangat setuju akan semua pendapat yang telah dikemukakan di atas. Oh ya, mungkin sampai disini dulu. Saya butuh research yang mendalam mengenai hal ini. Jadi, saya sudahi saja. Untuk lebih lengkapnya bisa langsung menuju lokasi.  Disana dijelaskan lebih rinci.

Terimakasih. CMIW ^^

Comments

Popular posts from this blog

Saras 008 Pembela Kebajikan

Kontes Blog #PESAWATKERTASTERAKHIR : Teruntuk Kita yang Pernah Sedekat Nadi Sebelum Sejauh Matahari

RUGRATS : a 90's Cartoon